Jawaban Buya Hamka Tentang Poligami

Jawaban Buya Hamka Tentang Poligami
*Dialog Buya Hamka dan Wanita yg Dipoligami*

Diambil dan diringkas dari buku "AYAH" biografi Buya Hamka rahimahullah, yg ditulis oleh putra beliau Irfan Hamka, tahun 2013. Diterbitkan Republika halaman 2 sd 5.

-------------------

Suatu ketika seorang wanita datang mengunjungi buya Hamka untuk curhat. Sambil menangis ia cerita ke buya:

"Buya.. suami saya nikah lagi. Sakit hati saya buya.. sakit sekali! Ingin cerai rasanya!
Susah payah saya temani dia sampai punya 5 anak, eeh malah skrg dia seenaknya nikah lagi! Saya harus bagaimana, buya?"

Buya terdiam. Ia menghela nafas. Buya adalah seorang lelaki setia. Selama puluhan tahun menikah, sama sekali tak pernah terpikir di benaknya utk menduakan istri yg telah memberinya 12 anak. Bahkan, sampai istrinya wafat sekalipun, tak terbersit sedikitpun keinginan utk menikah lagi. Walau puluhan orang datang silih berganti menawarkan anak atau saudara perempuan mereka utk dinikahi, buya tetap bergeming. Tidak mau menikah lagi. "Belum lepas ingatan saya pada istri yg sdh membersamai saya puluhan tahun," demikian alasan Buya.

Tapi sebagai ulama, ia harus memberi jawaban sesuai syariah. Bukan jawaban berdasar pengalaman pribadi atau emosi semata. Maka ia tanyai sang wanita tadi.

"Ananda shalat?"
"Shalat buya. Malah sering juga salat dhuha, tahajjud, dan puasa senin kamis"

"Suami ananda shalat?"
"Selama ini kami selalu melakukannya bersama"

"Jadi apa alasan ananda meminta cerai? Sudahkah dipikirkan masak2?"

Wanita itu menangis.
Ia pun bercerita, bhw ia dan suami menikah krn saling cinta. Saat ini sdh menikah 9thn dan memiliki 5 anak. Pernikahan mrk bahagia, kecuali 1 hal yg mengganggu:
Aktivitas seks suaminya tak pernah berkurang.
Sebagai ibu 5 anak sekaligus seorang guru, ia sering kelelahan. Maka, ia pun sering menolak hasrat suaminya. Krn sering menolak, maka mrk pun sering terlibat pertengkaran. Klimaksnya adalah saat suaminya minta ijin utk nikah lagi. Bahkan sdh 2 bulan suaminya jarang pulang. Ia mencurigai si suami sdh menikah lagi.
"Itu sebabnya saya ingin cerai, buya"

Buya menjawab,
"Cerai memang sesuatu yg halal. Tapi tidak disukai Allah.
Terkait suami ananda, ada 2 jenis laki2 yg memiliki kelebihan 'bakat alam' seperti dia.

*Jenis pertama*, adalah lelaki beriman.
Dia takut pada Tuhannya. Takut menjalani perbuatan yg dimurkai Allah. Takut kehilangan istrinya. Dia sayang pada keluarganya. Maka sebagai jalan keluar utk mengatasi bakat biologisnya, ia pun menikah lagi. Walau secara diam2. Menikah dgn cara ini halal, tidak dimurkai Allah.

*Jenis kedua*, adalah laki2 yg tak takut Allah.
Apalagi takut pada istrinya. Dia akan berbuat semaunya, termasuk berzina. Malah lebih parah lagi, bisa2 ia melakukan perkosaan sbg pelampiasan."

"Lalu bagaimana halnya dengan istri?

Sama. *Ada 2 macam istri*

Jenis pertama adlh istri yg tak takut Allah. Apalagi suaminya. Istri yg tak takut Allah ini akan melarang suaminya menikah lagi.
Ia memberi peluang suaminya berzina di luar rumah."

"Hanya ini yg bisa buya sampaikan. Buya dilarang agama utk menganjurkan ananda mengajukan cerai ke suami. Dan buya tidak berhak menganjurkan ananda utk bersabar. Keputusan ada di tangan ananda. Semua tergantung tinggi rendahnya iman seseorang pada Allah. Sekian ya?"

Tak lama si wanita itupun pulang.
Empat bulan kemudian ia berkunjung lagi ke rumah buya. Kali ini bersama suami dan 5 anaknya. Di akhir silaturahmi, si wanita berkata pada buya,

"Buya, saya lebih takut Allah daripada takut dimadu"

Note :
1.  pada kenyataannya Buya Hamka sampai akhir hayatnya tidak berpoligami kok..beliau menikah lagi 10 tahun kemudian setelah istri nya wafat...#begitulah ulama yg konsisten menyampaikan syariat Allah apa adanya..

2. M.Natsir rahimahullah berdiskusi dan berbeda pendapat , berdebat dengan Soekarno.. masalah poligami. M.Natsir sebagai ulama menjelaskan bahwa itu diatur dlm syariat Agama (pro pada hukum Allah tsb) adapun Soekarno bersikap sebaliknya (kontra) terhadap poligami.

Sampai wafatnya beliau , Pak M.Natsir tidak melakukan poligami

Komentar